Rabu, 25 Maret 2015

Panggung Rakyat NOL KM Menolak Penggusuran

Jogja – Minggu, 22 Maret 2015 sekitar pukul 18.00, di depan Gedung Agung telah ramai dengan para wisatawan dan warga yang sekedar datang untuk menikmati keindahan kota Jogja. Namun, malam ini ada yang unik dan berbeda. Ratusan massa tengah berkumpul di lapak seberang monumen 1 Maret. Mereka tengah sibuk menata alat musik dan sound system. Ada juga yang memasang baliho besar di tiang lampu hias dekat monumen Batik. Baliho itu bertuliskan “Tolak Penggusuran Pedagang Asongan Di NOL KM”. Ya, inilah agenda Panggung Rakyat (PAMER) Menolak Penggusuran yang digelar oleh Pedagang Merdeka NOL KM. 



Tentu saja aktivitas PAMER mengundang wisatawan untuk datang dan nimbrung. Sebagain bertanya-bertanya ini acara apa, ada apa dengan NOL KM, dan seterusnya. Agustien, salah satu pedagang yang juga penyelenggara agenda tersebut menjelaskan bahwa acara panggung rakyat ini adalah salah satu bentuk kampanye kepada masyarakat luas bahwa di Kota Yogyakarta tengah terjadi penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta terhadap Pedagang Kaki Lima di Titik Nol KM. “Mereka (pemkot) menggusur PKL atas nama keindahan kota danpembangunan yang dirumuskan dalam perda no 26 tahun 2002 dan perwal no 37 tahun 2010. Namun apakah kebijakan tersebut saat dirancang kami PKL turut dilibatkan? Tidak! Kami hadir disini, berjualan disini karena negara tidak hadir memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Lah kalau ada pekerjaan yang layak, ngapain juga kami disini?” ungkapnya.

Selain itu, seorang ibu PKL NOL KM dalam orasinya mengatakan pemkot Jogja memperlakukan PKL seperti maling yang dikejar-kejar setiap melihat PKL hendak menggelar dagangannya. “ Kami ini bukan maling, bukan koruptor. Kami hanya mengais rejeki seribu dua ribu rupiah. Keluarga kami makan apa kalau kami tidak jualan. Kalau kami tidak diperbolehkan jualan, apakah mereka (pemkot) ngasih kami makan dan uang sekolah anak kami?” tegasnya. Ia juga menyampaikan kekecewaannya kepada pemkot Jogja yang tidak melihat kenapa mereka hadir disana dan berjualan disana. “Saya gak paham tentang hukum. Yang jelas, kalau pemerintah terus menggusur kami tanpa memberikan solusi yang tepat, maka buat apa kami percaya pemerintah” tambahnya. 

Selain PKL, solidaritas datang dari berbagai komunitas dan individu masyarakat Jogja. Ada dari seniman, mahasiswa, perempuan, dan banyak lagi. “Kami bersyukur ternyata banyak yang bersolidaritas atas persoalan kami disini. Ada Sebumi, BEM UIN SUKA, Cakrawala Mahasiswa Yogyakarta, FAMJ, KEPRY, Perempuan Mahardhika, BEM UST Taman Siswa dan masih banyak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu” Agustien menjelaskan. Panggung Rakyat diramaikan oleh musik alternatif, puisi, dan orasi. Terlihat banyak para wisatawan lokal dan asing memadati lokasi acara. “Intinya kami terus melawan. Dalam waktu dekat kami akan mengadakan agenda-agenda perlawanan. Dan akan kami galang kekuatan melawan pemkot yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Jogja tidak akan istimewa jika masih menindas rakyat” tutup Agustien. (Cakranews)