Mengapa kaki kau yang
harus lemah saat kakiku mulai tegap menginjaki bumi?
Mengapa tangan kau yang
harus lesu saat jari jemariku mulai erat menggenggam harapan?
Mengapa harus langkah
kau yang lambat saat aku mulai mencoba tuk berlari melintasi semsesta?
Oowh, kapan lagi ku
melihat lincahnya gerak kau saat aku kau pangku
dan kau genggam penuh kasih!
Engkau menjadi atap
saat ganasnya panas mentari yg tak kenal
rupa, menghanguskan dinding dinding buana.
Engkau bagai percikan
nur rembulan penerang malamku saat swastamita meranjak pergi sore ini
Kini kaupun menua saat
aku telah diajari melawan derasnya arus
waktu
Kini kaupun menua saat
aku kau bentengi dari serangan fajar hitam yng mengancam
Kini kaupun menua
Menua saat asupan darah
dagingku kau cukupkan
Aku adalah debu tanpa
tulusnya deritamu penuh kasih
Aku adalah mata air
yang mengering tanpa derasnya cucuran keringatmu
Aku adalah tulang
benulang tak berjiwa tanpa tetesan
sakralnya air susumu Kini kaupun menua
Muhammad Yapon
(Yogjakarta,
19 Agustus 2019)