Sabtu, 07 Maret 2015

Surat Untuk Ibu Di Hari Perempuan Se Dunia

(Bagian II)

Oleh: Tinta Merah

Embun terhisap mentari
Ia tak menyesal apalagi iri
Karena senja membawa hidup kembali
Lalu fajar membuka pagi

Tapi perempuan bukan embun
Jika dihisap harus merumpun
Kemarahan harus dihimpun
Agar penindas minta ampun!!!
***

Aku lupa menanyakan kekasihmu. Apa kabar dia? Aduhai. Kalian pasangan yang membuatku sering iri. Setiap mentari mulai mendayung lalu melabuh di pundak senja, kekasihmu, sang petani itu, mulai menuruni hamparan bukit cengkeh. Ketika sekarung pala di banting dari pundaknya, Ia tak bertanya di mana secangkir teh panas, namun yang dicari kehangatan pelukmu semata. Ah, Ibuku sayang. Engkau telah berhasil menemukan jarum di dalam gubuk jerami. Kekasihmu adalah seorang lelaki manis di antara jutaan lelaki sadis.


Ibu..
Tadi malam hujan deras. Genteng kontrakkanku bocor. Ingin sekalu ku perbaiki dan bermain dengan hujan seperti sediakala saat atap dapur kita bocor dimana-mana hingga membuat lantai tanah becek. Aku, kau dan ayah sore itu mandi hujan. Gotong-royong memperbaiki atap. Senang rasanya bisa membantu kau dan kekasihmu. Ah, hujan disana indah. Selalu ku nanti kehadirannya. Tapi Bu, hujan disini tak bisa ku goda, asap pabrik dan polusi menyatu dengan tetasan air hujan. Di Ibukota ia tak dirindukan sebab se Ibukota akan mandi banjir bila ia datang. Sayangnya, banjir Ibukota tak jua menghanyutkan para koruptor dan orang-orang kaya yang membangun gedung-gedung pencakar langit dan perumahan-perumahan elit yang menggusur hak ruang hidup rakyat kecil.

Aku jadi marah jika bicara penggusuran, Bu. Sangat marah! Betapa tidak, kau adalah korban dari penggusuran. Belasan hektar kebun pala dan kelapamu dari warisan kakek, telah raib digusur dengan ganti rugi yang amat rugi. Seribu rupiah untuk per meter tanah. Kata pemerintah, ini demi pasokan listrik di daerah kita. Sebab tanahmu terkandung panas bumi. Ibu, kau bukan salah satu perempuan bernasib perih. Di tanah yang tengah ku pijak, ibu-ibu keluar rumah, rela tinggal di tenda-tenda kecil di musim hujan ini. Mereka tak sedang main rumah-rumahan. Mereka justru tengah berhadap-hadapan dengan aparat tentara lengkap dengan senjatanya. Berani kan mereka? Ya, sangat, sangat, sangat berani. Mereka berani demi mempertahankan sepetak tanah miliknya untuk tetap bisa bertahan hidup. Dari siapa? Dari pemerintah tamak dan pengusaha rakus!

Ibu..
Kalian para ibu begitu kuat. Kau dan ibu-ibu berani itu mungkin tak mengenal PKK dan Dharma Wanita. Ya, khususnya kau. Untungnya kau bukan seorang isteri pegawai negeri. Aku tak suka dengan organisasi itu. Mereka hanya menjadikan perempuan sebagai konco wiking, kata orang Jawa. Aku bahagia sebab kau tak peduli dengan perkumpulan itu. Sepanjang kebersamaan kita, tak terlihat muncul rasa iri ketika ada tetangga yang berseragam kembar keluar rumah menuju rumah Bu lurah. Bahkan, komunitas Majelis Ta’lim pun tak membuatmu terpesona. Padahal kau khatam Alquran.  Saat ku tanya kenapa tak gabung saja, kau cukup menjawab singkat: “Meraka (perkumpulan) itu tak perlu berpikir keras besok makan apa”. Tuhan, mahkluk apa yang ada didepanku ini? Tanyaku saat itu dalam hati. Kau begitu keras bertarung hidup demi keluarga yang ditelantarkan negara. Kau menelanjangi moralitas dengan caramu sendiri. Ibu adalah perempuan yang hanya berhasil duduk di kelas 2 madrasah. Tapi kau memikul tanggung jawab yang harus menjadi tanggungan penguasa negeri kaya raya ini!

Ibu...
Ini bulan Maret. Bulan spesial bagi kita perempuan tertindas. 8 Maret ialah Hari Perempuan Se Dunia. Sejarahnya panjang, Bu. Se abad lebih yang lalu, perempuan di Eropa membanjiri jalanan berdemonstrasi menuntut hak-haknya. Salah satunya yang sekarang dinikmati para pekerja. Ya, 8 jam kerja. Sekarang, situasi perempuan tak jua berubah lebih baik. Oh ya, belakangan ini ku dengar ada kasus perkosaan terjadi di daerah kita. Aku jadi khawatir dirimu dan si bungsu. Memang mengerikan, Bu. Tidak hanya di daerah kita, di mana-mana kasus ini terjadi. Parahnya Bu, pelakunya tak bisa di duga-duga. Bisa orang yang tak dikenal hingga orang yang kita sayang. Ingatkah kau tetangga seberang rumah kita? Pak An, tega menyetubuhi keponakannya sendiri demi tumbal ilmu hitam. Aduh, aku makin takut Bu. Karena tak ada tanda-tanda teror terhadap perempuan ini akan diselesaikan oleh pemerintah. Penegak hukum? Duh, mereka sering menyudutkan perempuan korban kekerasan seksual. Hukum kita tak bisa dipercaya. Hukum masih tumpul. Tumpul ke bawah tepatnya. Bukankah kau juga korban dari hukum negeri ini?

Aku makin kesal dan makin marah di hujan gerimis suatu sore. Aku bertemu dengan sekumpulan orang yang katanya mau berbicara tentang persoalan perempuan. aku datang dengan sejuta harap dan semangat. Namun pupus dan menguap begitu saja di bawa rintik hujan. Betapa tidak? Awalnya kami berbagi cerita tentang perempuan dan masalah di negeri ini. Namun ada beberapa orang pintar memotong pembicaraan itu. Katanya dengan lantang dan tanpa dosa: “Menurut kami, kekerasan seksual dan penindasan khusus perempuan hanyalah isu perempuan kaya. Kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan akan sirna jika kapitalisme telah hilang”. Oh tidak! Aku kaget bukan main, Bu. Petir dan gemuruh langit di sore yang gerimis tak membuatku se kaget ini. Aku bertanya-tanya, dari mana kah manusia-manusia ini lahir? Dari lubang batu kah? Mereka ini anak dari keluarga orang-orang mampu. Ibu dan saudara perempuannya akan menangis mendengar cerita ini. Jika benar mereka bersekukuh dengan pandangannya, apakah mereka akan diam saja ketika di antara keluarganya menjadi korban perkosaan dan berkata kepada keluarganya “Tunggulah sampai revolusi”? Perjuangan macam apa yang ingin dicapainya? Oh Ibu.. Sungguh, jika mereka saudaraku, sudah ku tampar di depan orang banyak. 

Aku tak sudi memiliki saudara sepertinya. Aku pun pulang dengan kecewa yang dalam. Sedih sekali. Tak kubayangkan jika banyak orang berpikir seperti orang-orang pintar itu, maka akan banyak perempuan korban perkosaan ditelantarkan negara. Dan bahkan tak dipedulikan oleh orang-orang pintar macam mereka! Aku bertanya-tanya bagaimana nasib perempuan Papua? Perempuan korban 65? Marsinah, Perempuan Tionghoa korban 98, dan perempuan-perempuan di daerah-daerah konflik dan seluruh negeri ini? Rupanya tak terjawab oleh orang-orang pintar itu.

Isi periuk telah berpindah ke perut
Namun parasnya masih berkerut
Kecut melebihi jeruk purut

Ah! Perut mereka tak lapar
selangkangannya yang tengah terkapar
 Jugun ianfu dipaksa kasar
Agar peluru tak menyasar!

Ibu...
Dunia tak sedang baik-baik saja. Kemiskinan kita, ketakberdayaan kita bukanlah takdir. Kau tahu itu. Walau kau tak bersuara dalam demonstrasi dan teriakkan toa. Walau kau tak sesempurna Ibunda Maxim Gorky. Kau Tetaplah menjadi ibuku walau aku tak bisa menjadi anak yang dapat menggembala uang seperti anak-anak tetangga kita. Ku tahu kau pun tak menginginkan itu. Doamu adalah keteguhanku. Terima kasih telah memberi pengetahuan dan pengalaman hidup yang tak ternilai harganya di dunia ini. Ku beri tahu sesuatu, Bu. Kau adalah potret perempuan mayoritas di dunia ini. Karena itulah, Kau adalah alasan pertama aku ada di sini. Di dalam perjuanganku! Selamat Hari Perempuan Se Dunia, Ibuku sayang.
***

Selesai