Oleh: Tinta Merah
Embun
terhisap mentari
Ia tak
menyesal apalagi iri
Karena
senja membawa hidup kembali
Lalu
fajar membuka pagi
Tapi
perempuan bukan embun
Jika
dihisap harus merumpun
Kemarahan
harus dihimpun
Agar
penindas minta ampun!!!
***
Aku lupa menanyakan
kekasihmu. Apa kabar dia? Aduhai. Kalian pasangan yang membuatku sering iri.
Setiap mentari mulai mendayung lalu melabuh di pundak senja, kekasihmu, sang
petani itu, mulai menuruni hamparan bukit cengkeh. Ketika sekarung pala di
banting dari pundaknya, Ia tak bertanya di mana secangkir teh panas, namun yang
dicari kehangatan pelukmu semata. Ah, Ibuku sayang. Engkau telah berhasil
menemukan jarum di dalam gubuk jerami. Kekasihmu adalah seorang lelaki manis di
antara jutaan lelaki sadis.
Ibu..
Tadi malam hujan
deras. Genteng kontrakkanku bocor. Ingin sekalu ku perbaiki dan bermain dengan
hujan seperti sediakala saat atap dapur kita bocor dimana-mana hingga membuat
lantai tanah becek. Aku, kau dan ayah sore itu mandi hujan. Gotong-royong
memperbaiki atap. Senang rasanya bisa membantu kau dan kekasihmu. Ah, hujan
disana indah. Selalu ku nanti kehadirannya. Tapi Bu, hujan disini tak bisa ku goda,
asap pabrik dan polusi menyatu dengan tetasan air hujan. Di Ibukota ia tak
dirindukan sebab se Ibukota akan mandi banjir bila ia datang. Sayangnya, banjir
Ibukota tak jua menghanyutkan para koruptor dan orang-orang kaya yang membangun
gedung-gedung pencakar langit dan perumahan-perumahan elit yang menggusur hak
ruang hidup rakyat kecil.
Aku jadi marah jika
bicara penggusuran, Bu. Sangat marah! Betapa tidak, kau adalah korban dari
penggusuran. Belasan hektar kebun pala dan kelapamu dari warisan kakek, telah raib
digusur dengan ganti rugi yang amat rugi. Seribu rupiah untuk per meter tanah.
Kata pemerintah, ini demi pasokan listrik di daerah kita. Sebab tanahmu
terkandung panas bumi. Ibu, kau bukan salah satu perempuan bernasib perih. Di
tanah yang tengah ku pijak, ibu-ibu keluar rumah, rela tinggal di tenda-tenda
kecil di musim hujan ini. Mereka tak sedang main rumah-rumahan. Mereka justru
tengah berhadap-hadapan dengan aparat tentara lengkap dengan senjatanya. Berani
kan mereka? Ya, sangat, sangat, sangat berani. Mereka berani demi
mempertahankan sepetak tanah miliknya untuk tetap bisa bertahan hidup. Dari
siapa? Dari pemerintah tamak dan pengusaha rakus!
Ibu..
Kalian para ibu
begitu kuat. Kau dan ibu-ibu berani itu mungkin tak mengenal PKK dan Dharma
Wanita. Ya, khususnya kau. Untungnya kau bukan seorang isteri pegawai negeri. Aku
tak suka dengan organisasi itu. Mereka hanya menjadikan perempuan sebagai konco
wiking, kata orang Jawa. Aku bahagia sebab kau tak peduli dengan perkumpulan
itu. Sepanjang kebersamaan kita, tak terlihat muncul rasa iri ketika ada
tetangga yang berseragam kembar keluar rumah menuju rumah Bu lurah. Bahkan,
komunitas Majelis Ta’lim pun tak membuatmu terpesona. Padahal kau khatam
Alquran. Saat ku tanya kenapa tak gabung
saja, kau cukup menjawab singkat: “Meraka (perkumpulan) itu tak perlu berpikir
keras besok makan apa”. Tuhan, mahkluk apa yang ada didepanku ini? Tanyaku saat
itu dalam hati. Kau begitu keras bertarung hidup demi keluarga yang
ditelantarkan negara. Kau menelanjangi moralitas dengan caramu sendiri. Ibu
adalah perempuan yang hanya berhasil duduk di kelas 2 madrasah. Tapi kau
memikul tanggung jawab yang harus menjadi tanggungan penguasa negeri kaya raya
ini!
Ibu...
Ini bulan Maret. Bulan
spesial bagi kita perempuan tertindas. 8 Maret ialah Hari Perempuan Se Dunia. Sejarahnya
panjang, Bu. Se abad lebih yang lalu, perempuan di Eropa membanjiri jalanan
berdemonstrasi menuntut hak-haknya. Salah satunya yang sekarang dinikmati para
pekerja. Ya, 8 jam kerja. Sekarang, situasi perempuan tak jua berubah lebih
baik. Oh ya, belakangan ini ku dengar ada kasus perkosaan terjadi di daerah
kita. Aku jadi khawatir dirimu dan si bungsu. Memang mengerikan, Bu. Tidak
hanya di daerah kita, di mana-mana kasus ini terjadi. Parahnya Bu, pelakunya
tak bisa di duga-duga. Bisa orang yang tak dikenal hingga orang yang kita
sayang. Ingatkah kau tetangga seberang rumah kita? Pak An, tega menyetubuhi
keponakannya sendiri demi tumbal ilmu hitam. Aduh, aku makin takut Bu. Karena
tak ada tanda-tanda teror terhadap perempuan ini akan diselesaikan oleh
pemerintah. Penegak hukum? Duh, mereka sering menyudutkan perempuan korban
kekerasan seksual. Hukum kita tak bisa dipercaya. Hukum masih tumpul. Tumpul ke
bawah tepatnya. Bukankah kau juga korban dari hukum negeri ini?
Aku makin kesal dan
makin marah di hujan gerimis suatu sore. Aku bertemu dengan sekumpulan orang
yang katanya mau berbicara tentang persoalan perempuan. aku datang dengan
sejuta harap dan semangat. Namun pupus dan menguap begitu saja di bawa rintik
hujan. Betapa tidak? Awalnya kami berbagi cerita tentang perempuan dan masalah
di negeri ini. Namun ada beberapa orang pintar memotong pembicaraan itu.
Katanya dengan lantang dan tanpa dosa: “Menurut kami, kekerasan seksual dan
penindasan khusus perempuan hanyalah isu perempuan kaya. Kekerasan seksual dan
diskriminasi terhadap perempuan akan sirna jika kapitalisme telah hilang”. Oh
tidak! Aku kaget bukan main, Bu. Petir dan gemuruh langit di sore yang gerimis
tak membuatku se kaget ini. Aku bertanya-tanya, dari mana kah manusia-manusia
ini lahir? Dari lubang batu kah? Mereka ini anak dari keluarga orang-orang
mampu. Ibu dan saudara perempuannya akan menangis mendengar cerita ini. Jika
benar mereka bersekukuh dengan pandangannya, apakah mereka akan diam saja
ketika di antara keluarganya menjadi korban perkosaan dan berkata kepada
keluarganya “Tunggulah sampai revolusi”? Perjuangan macam apa yang ingin
dicapainya? Oh Ibu.. Sungguh, jika mereka saudaraku, sudah ku tampar di depan orang
banyak.
Aku tak sudi memiliki saudara sepertinya. Aku pun pulang dengan kecewa
yang dalam. Sedih sekali. Tak kubayangkan jika banyak orang berpikir seperti
orang-orang pintar itu, maka akan banyak perempuan korban perkosaan
ditelantarkan negara. Dan bahkan tak dipedulikan oleh orang-orang pintar macam
mereka! Aku bertanya-tanya bagaimana nasib perempuan Papua? Perempuan korban
65? Marsinah, Perempuan Tionghoa korban 98, dan perempuan-perempuan di
daerah-daerah konflik dan seluruh negeri ini? Rupanya tak terjawab oleh
orang-orang pintar itu.
Isi periuk telah berpindah ke
perut
Namun parasnya masih berkerut
Kecut melebihi jeruk purut
Ah! Perut mereka tak lapar
selangkangannya yang tengah
terkapar
Jugun ianfu dipaksa kasar
Agar peluru tak menyasar!
Ibu...
Dunia tak sedang baik-baik saja. Kemiskinan kita, ketakberdayaan kita
bukanlah takdir. Kau tahu itu. Walau kau tak bersuara dalam demonstrasi dan
teriakkan toa. Walau kau tak sesempurna Ibunda Maxim Gorky. Kau Tetaplah
menjadi ibuku walau aku tak bisa menjadi anak yang dapat menggembala uang
seperti anak-anak tetangga kita. Ku tahu kau pun tak menginginkan itu. Doamu
adalah keteguhanku. Terima kasih telah memberi pengetahuan dan pengalaman hidup
yang tak ternilai harganya di dunia ini. Ku beri tahu sesuatu, Bu. Kau adalah
potret perempuan mayoritas di dunia ini. Karena itulah, Kau adalah alasan
pertama aku ada di sini. Di dalam perjuanganku! Selamat Hari Perempuan Se Dunia,
Ibuku sayang.
***
Selesai