(Bagian
I)
Oleh :
Tinta Merah
Bak air mendidih meluap emosi
Tarian Tinta menyobek kertas relung
Amarahku tak tertakar
Tak
terkapar
Sebab hangatnya pelukmu satu-satunya penawar
Namun harga jarak tak bisa ditawar!
Seperti biasa, kutumpahkan
Kesal yang mengepal
Di atas lembaran tanpa sesal
***
Ibu...
Apa kabarmu?
Sehatkah kau di sana?
Ah, patutnya aku
tak bertanya lagi. Sebab tentu kau tak sedang baik-baik saja. Bagaimana bisa
kau sehat jika di saat para penguasa dan orang kaya tidur nyenyak di Pukul 01.00
dini hari, saat itu pula kau terpaksa harus bangun. Menyiapkan dagangan,
menyapa fajar dalam ayunan langkah kaki, menelusuri gang-gang, lorong-lorong
kampung demi kampung. Mendagangkan setitik harapan yang tak diharap para penguasa.
Ibu aku
merindukanmu. Rindu yang tak sanggup di ukur dan di ukir oleh abjad-abjad dalam
surat ini. Kau perempuan tangguh yang pernah ku temui seumur hidupku. UU
Perkawinan tak berlaku bagimu, sebab kaulah tulang punggung keluarga. Ya,
keluarga. Negara? Hah! Mereka tak sudi menanggung kebutuhan hidup kita. Sejak
dulu, kita memang tak punya negara. Tapi dipaksa bayar upeti setiap tahun.
Aku
mengkhawatirkanmu. Walau ku tahu, kerinduan dan kekhawatiranmu terhadapku jauh
berlipat kali dibandingkanku. Namun sungguh, aku tulus mengkhawatirkanmu. Garis
kulit diwajahmu semakin mengerut. Pelukan terakhir itu, kurasakan keras tulang
yang terbungkus kulit tubuh. Tentu ini ada sebabnya. Aku pernah menghitung
waktu istirahatmu dalam sehari. Kau hanya butuh 5 jam untuk merebahkan
keletihan. Tak seperti para pejabat korup di negeri ini. Mereka enak, Bu.
Sementara kau sekarat. Teringat kepanikanku waktu itu kau tiba-tiba terjatuh
tak sadarkan diri di dapur setelah selesai memenuhi rengekan si bungsu yang
meminta memasak ikan kesukaannya. Kau pingsan beberapa saat hingga pak dukuh
tetangga sebelah membangunkanmu dengan air jampi-jampinya. Apa lah daya, kita
tak sanggup ke dokter apalagi ke Rumah Sakit. Sebab disana tak ada yang cuma-cuma.
Ibu, ada yang indah
di bulan Maret. Dulu, aku pernah memberikan se tangkai bunga dan ucapan
‘Selamat Hari Ibu”. Kau lalu bertanya polos tentang kelakuan anakmu ini. Aku
pun menceritakan tentang Hari Ibu dan sejarahnya. Sejak saat itu kau selalu
menunggu ucapanku di setiap 22 Desember. Aku tersenyum, karena pengalaman itu
kau bagikan dalam obrolan ibu-ibu tetangga. Akhirnya mereka pun tahu tentang
hari istimewa itu. Sekarang bulan Maret. Bulan indah selain desember. Ingatkah
kau kisahku sepulang dari Rumah Sakit 2008 lalu? aku baru saja mengantarkan
seorang kawan yang dipukul polisi saat aksi kami? Seperti biasa kau ingin tahu
apa yang kulakukan, kenapa harus aksi, apa yang kami mau, bla bla bla. Aku pun
mulai mencoba menjawab tujuan aksi itu. Waktu itu aku baru saja belajar dalam
sebuah komunitas perempuan. Aku hanya tahu kami aksi memperingati Hari
Perempuan se Dunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Ku tiru gaya orasi temanku
sebelum polisi menghajarnya. Aku pun mengambil megafon kecil di dalam tas
ransel yang telah rusak dibanting polisi. “Kami menuntut hak-hak Perempuan yang
selama ini dimiskinkan oleh negara. Kami juga menuntut Wali Kota dan Satpol PP
untuk menghentikan kebrutalan menggusur dan menghancurkan dagangan ibu-ibu
pedagang sayur-mayur di pasar”. Aku tertawa saat ayah terbangun gara-gara
suaraku. Seperti biasa, kau diam dalam tatapan dalam. Kau lalu menyisir
rambutku yang berantakan sembari berbisik: “Hati-hati di saat aksi, jaga
dirimu”. Kau tahu, kalimat itu adalah energi. Kekuatan yang tak ada bandingnya.
Kau tak bilang setuju, tapi ku yakin dalam hatimu menganggukkan apa yang
kulakukan. Sebab ini lah hari raya bagi kamu, aku, dan perempuan sedunia yang
tertindas dan tereksploitasi.
(bersambung)