Kamis, 05 November 2015

MELINGKARLAH! LINGKARILAH YANG MAJU, KELILINGI YANG RAGU!!!




(Sebuah Solidaritas dan Salam Perkenalan
Untuk kawan-kawan Lingkar Mahasiswa Kerakyatan – Mamuju)

Sekilas Situasi Nasional
Sistem ekonomi politik neoliberalisme, paska 1998, ternyata berbalik arah dari ekspektasi gerakan mahasiswa saat menjatuhkan rezim dictator militeristik, Soeharto. Gerakan mahasiswa saat itu terkesan fokus pada senjata dan anti demokrasi ala orde baru. Sehingga euforia akan hadirnya demokrasi yang sejati membuat gerakan mahasiswa cenderung lupa bahwa selama 32 tahun Soeharto sukses menghidupkan watak-watak anti demokrasi, KKN, dan borjuisme di dalam pemerintahan, serta yang terpenting menyuburkan aliran investasi modal asing dan swasta berikut kekuatan militer Tentara dan polisi di seluruh Indonesia.

Konferensi Lingkar Mahasiswa Kerakyatan
Di tahun 2003, ketika Megawati memimpin, ratusan BUMN dijual dan diprivatisasi begitu saja kepada asing dan swasta. Anak Soekarno yang ingkar terhadap perjuangan ayahnya ini, pun, membuat PP tentang larangan mengkritik pejabat tinggi, termasuk mengkritik Presiden. Alhasil, banyak mahasiswa dijebloskan ke penjara karena membakar foto atau sekedar mengkritik Mega saat demonstrasi. Kemudian, 10 tahun memimpin, SBY, sukses mengesahkan puluhan UU anti demokrasi. Diataranya UU Penanganan Konflik Sosial, UU Ormas, UU Keamanan Nasional, dan masih banyak lagi regulasi pembungkam suara kritis rakyat. Tak sampai disitu, SBY yang pandai pencitraan ini ternyata juga mengesahkan kebijakan Mega Proyek Masterplan Proyek Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang mulai berlaku sejak tahun 2014 hingga 2025. Proyek ini dilakukan di seluruh Indonesia. Kita tak perlu berbangga hati jika di daerah-daerah terpencil yang sebelumnya tak pernah tersentuh oleh pembangunan, tiba-tiba dibangun rel kereta api, pelabuhan internasional, atau Bandara internasional. Sebab pembangunan fasilitas tersebut bukan agar rakyat dengan mudah dan murah mengakses perkotaan atau modernitas, tetapi proyek tersebut semata-mata untuk memuluskan dan melancarkan arus modal investasi besar milik kapitalis-kapitalis yang akan menggerogoti kekayaan alam di seluruh daerah di Indonesia. Kapitalisme tidak ikhlas satu detik terbuang tanpa adanya akumulasi nilai penghisapan. Fasilitas yang dibangun untuk memaksimalkan penghisapan alam dan manusia. Tambang-tambang baru dibuka, industry kelapa sawit ada dimana-mana. Jaringan Anti Tambang (Jatam) menyebut  35 persen  daratan  Indonesia,   diijinkan  untuk dibongkar  oleh industri  pertambangan; Sawit  Wacth menyatakan hingga  Juni  2010, pemerintah  telah menyerahkan  9,4  juta   hektar  tanah  dan  akan mencapai  26,7  juta  hektar tahun  2020  kepada  30 grup  besar yang  mengontrol  600 perusahaan[1].  Kata Karl Marx, inilah akumulasi primitive!
Di penghujung kepemimpinan SBY, ia tak tanggung-tanggung menambah kesengsaraan rakyat dengan menjerumuskan bangsa ini kejurang pasar bebas Asean Economic Community atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Perdangangan yang tak kenal batas negara ini, berkonsekuensi semakin panjangnya barisan pengangguran di Indonesia. Pasalnya, jutaan pekerja asing akan diterjunkan di Indonesia. Kita tahu bersama, bobroknya system pendidikan yang mahal dan tak terakses oleh rakyat miskin berakibat pekerja Indonesia tak laku dalam logika pasar tenaga kerja ala kapitalisme.

Baru beberapa bulan memimpin, Joko Widodo sudah berani menaikkan harga BBM. Presiden yang pernah diharapkan oleh sebagian masyarakat akan membawa perubahan justru sebaliknya menunjukan dimana keberpihakannya. Dengan jelas Jokowi menunjukan siapa majikannya. Tentu bukan rakyat. Para pengusaha dan militer tentu saja tuannya. Saat ini kita sedang menyaksikan jutaan buruh di Indonesia tengah dan terus menyiapkan mogok nasioanal demi mencabut PP Pengupahan no 78 tahun 2015, yang disahkan jokowi di bulan Oktober lalu. PP ini merupakah kebijakan politik upah murah, anti serikat dan tentunya anti buruh.

JIka saat ini kita sedang marah dengan paket ekonomi yagng dikeluarkan Jokowi, kebijakan tersebut tak lain merupakan pematangan system ekonomi politik neoliberalisme di Indonesia, sesuai dengan kebijakan Washington Consensus[2] yang mengharuskan:
  1. Penghapusan control atas harga komoditi, factor produksi dan mata uang
  2. Pengurangan defisit anggaran pemeritah atau bank sentral ke tingkat yang bisa dibiayai tanpa memakai inflationary financing
  3. Pengurangan belanja pemerintah dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis sensitive, seperti administrasi pemerintahan, tanah, subsidi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang ‘boros’ atau tidak ‘menguntungkan’ bagi capitalis.
  4. Perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam intense bagi pembayar pajak.
  5. Menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi dari tingkat inflasi.
  6. Memerlukan mata uang yang tunggal dan kompetitif untuk meningkatkan ekspor dan laju kapital.
  7. Perdanganan bebas, berarti mengurangi dan atau menghilangkan pajak bea cukai
  8. Privatisasi seluruh aset negara. Negara tidak perlu ada perusahaan sejenis BUMN. Serahkan semua ke pasar.
  9. Pengurangan belanja negara. Negara tidak perlu membelanjakan hal yang tidak perlu, sebab, dana tersebut akan dipakai untuk bail out bagi perusahaan yang mengalami kebangkrutan
  10. Penghapusan terhadap hambatan masuknya perusahaan asing ke Indonesia. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara
  11. Semua aturan perundang-undangan harus mengikuti permainan pasar. Tidak boleh ada aturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan membatasi persainga.
  12. System hukum yang belaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital dan bangunan.
Semua poin-poin neoliberalisme yang tersebut diatas telah kita rasakan bersama. Sentralisasi capital di negara-negara miskin sudah diramalkan oleh Marx jauh hari. Negara tidak lain hanyalah pelayan sempurna korporasi. Tapi siapa yang menyadari?

Apa Kabar Gerakan Mahasiswa?
Pertanyaan ini bukan dari penulis, atau dari organisasi mahasiswa. Pertanyaan ini keluar dari mulut kawan-kawan seperjuangan di sector lain. Buruh, petani, kaum miskin kota, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya bertanya. Apa kabar gerakan mahasiswa?

Pertanyaan in bukan tanpa dasar. Pertanyaan yang filosofis sekaligus mencambuk! Ketika buruh menutup pabrik, membanjiri jalan raya, memblokir tol, mengepung pusat pemerintahan, mahasiswa masih sibuk dengan tugas kuliah. Ketika petani digebuk militer, mahasiswa masih sibuk debat kusir. Ketika orang Papua ditembak setiap hari, gerakan mahasiswa lagi sibuk memecah belah.

Melempemnya gerakan mahasiswa setelah 98, bergerak dalam pengkotak-kotakan bendera yang tidak substantive dan cenderung kekanak-kanakan, heroisme sesaat, maju mundur, spontanis serta sporadis, merupakan ciri umum gerakan mahasiswa di Indonesia. Euforia 98 tak lagi agung saat ini. Pertanyaannya, apa yang membuat gerakan mahasiswa terpecah belah dalam pengkotak-kotakan yang tak susbtantif? Semua orang pasti menjawab karena berbeda. Apa perbedaannya? Orang menjawab bendera, mars organisasi, logo, metode/kreatifitas ajang hingga ideologi. Jangan berhenti, Tanya lagi. Apa persamaannya? Tujuan. Apa tujuannya? Pendidikan gratis. Rakyat sejahtera. Demokrasi sejati, tanah untuk petani, bla, bla bla.

Lantas jika sama tujuan, apa yang membuat gerakan mahasiswa tidak bisa menyatu? Sebetulnya banyak yang membuat mahasiswa belum menyatukan kekuatan dalam satu perjuangan yang kuat dan solid. Tumbangnya orba, diukuti oleh tumbangnya atmosfir perlawanan mahasiswa. Jurang dan tembok menara gading dibuat sedemikian rupa oleh kurikulum dan struct
ural kampus. Sehingga gerakan mahasiswa menjadi tidak bisa melihat adanya peluang-peluang persatuan yang bisa menjadi kekuatan dalam perjuangannya.

Adalah Camila Vallejo dan federasi gerakan mahasiswa Chille memberikan gambaran kepada kita semua bahwa perjuangan gerakan mahasiswa bisa disatukan dalam sebuah konsep federasi. Perbedaan bisa disatukan, tentu dengan tidak meleburkan perbedaan menjadi pemaksaan persamaan. Federasi mahasiswa di Chille mengajarkan bahwa kesamaan tujuan dan platform perjuangan bisa menjadi kekuatan baru untuk memenangkan apa yang kita tuntut. 

Kawan-kawan Lingkar Mahasiswa Kerakyatan…

Federasi Mahasiswa Kerakyatan, ialah harapan. Harapan akan alat persatuan perjuangan mahasiswa. Secara konsep dan semangat, diserap dari Chille. Tapi, pengamalan juang kita selalu menjadi guru terbaik. Pengalaman terpecah belah organisasi unitaris. Federasi Mahasiswa Kerakyatan adalah alat pemersatu yang menyatukan tanpa meleburkan perbedaan menjadi harapan kami. Semoga ini menjadi harapan kawan-kawan Lingkar Mahasiswa Kerakyatan. Selamat berkonferensi, kawan. Selamat bergabung dalam perjuangan Federasi Mahasiswa Kerakyatan.
Mari meluas, membangun dan melawan!

Salam Perjuangan!

Hormat kami
Cakrawala Mahasiswa Yogyakarta
Cakrawala Mahasiwa Ternate


[1] Sangadji, Anto, Kapitalisme Dan Produksi Ruang : http://indoprogress.com/2011/02/kapitalisme-dan-produksi-ruang/
[2] http://poppysw.staff.ugm.ac.id/posts/articles/melacak-asalusul-neoliberalisme/