INTERNASIONAL STUDENT DAY:
LAWAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DAN UPAH MURAH!
I.
Perkembangan
Neoliberalisme di Indonesia
Sejak masuk menjadi negara
anggota World Trande Organization (sebelumnya bernama GATT tahun 1994 di Maroko
berubah menjadi WTO), IMF, dan World Bank, system ekonomi politik Indonesia
mulai menunjukan perubahan drastis menuju sebuah tatanan ekonomi
neoliberalisme. Lembaga-lembaga dunia ini memuluskan jalan bagi kehendak system
neoliberalisme. Neoliberalisme merupakan system mutakhir dari kapitalisme yang
mengutamakan perdagangan bebas, ekspansi pasar, privatiasi/penjualan BUMN,
deregulasi/penghilangan campur tangan negara, dan pengurangan peran negara
dalam layanan social (public service).
Setelah Soeharto sukses membuka
keran system tak adil ini, paska reformasi pemerintah negeri ini mulai
konsisten menjalankan tahap demi tahap. Penjualan dan privatisasi asset-asset
negara, pencabutan subsidi untuk rakyat hingga menderegulasikan aturan-aturan
dan kebijakan-kebijakan agar hilang campur tangan negara terhadap rakyat serta
mengerdilkn ruang demokrasi yang susah payah direbut oleh rakyat dalam
perjuangan reformasi silam.
Tahun 1995 indonesia mulai
menerapkan General Agreement on Trade Service (GATS). GATS adalah sebuah produk
neolib yang menegaskan bahwa semua sector jasa yang selama ini disubsidi atau
ditangani oleh negara harus dilempar ke pasar menjadi barang komoditi. Sector
jasa ini antara lain layanan pendidikan, kesehatan dan sosial, transportasi, komunikasi,
distribusi, keuangan, parisiwata, dan lingkungan. Sektor-sektor ini menjadi
bukan urusan negara lagi sesuai prinsip neoliberalisme.
II.
Otonomi
Untuk Pasar Neoliberalisme
Dalam dunia pendidikan,
lembaga-lembaga kapitalis dunia berperan aktif dalam mengarahkan kemana muara
salah satu tanggung jawab negara ini berlabuh. Pada tahun 1999 muncul PP nomor
61 tahun 1999 tentang penetapan Perguran Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum.
Sebuah aturan yang memberi landasan adanya pengelolaan pendidikan tinggi oleh
kampus tanpa campur tangan negara. Lalu menyusul 2003 UU Sistem Pendidikan Nasional
memperkenalkan Badan Hukum Pendidikan dalam pasal 53 ayat 1. Berselang 5 tahun,
muncul UU BHP pada tahun 2008. Walau pun berhasil dicabut, tapi pemerintah
tidak habis akal, sebab Bank Dunia mengeluarkan dokumen Indonesia Managing
Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang menegaskan bahwa
masalah pendidikan di Indonesia sebagai masalah public yang (harus) kurang
mengeluarkan uang untuk pendidikan tinggi. Sebab pendidikan tinggi dianggap
sebagai barang tersier. Akhirnya, tanggal 13 Juli 2012, UU Perguruan Tinggi no
12 tahun 2012 disahkan yang hakikatnya sama dengan BHP, ialah sebagai landasan
hukum PTN siap menjadi lahan bisnis. Di tahun 2013, dikeluarkan permendikbud
tentang Uang Kuliah Tunggal. Kebijakan ini menjadi turunan dari UU PT dimana
menekankan rakyatlah yang saling mensubsidi, bukan negara yang member subsidi
untuk rakyat. Jelas, tanggung jawab negara sebagai penyelenggara pendidikan,
hilang.
Otonomi (baca: pelepasan tanggung
jawab negara) ini tak hanya ada di pendidikan tinggi. Di pendidikan dasar dan
menengah, dikenal sebuah kebijakan bernama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Kebijakan ini mirip dengan Badan Hukum Pendidikan, dimana sekolah didorong
untuk memaksimalkan perannya dalam mencari sumber-sumber keuangannya sendiri.
Baik itu dari orang tua murid, masyarakat, dan swasta. Nyatanya, bukan hanya
perguruan tinggi yang dibuat menjadi produk mewah, tapi wajib sekolah 9 tahun
perlahan menjadi barang mewah yang tak bisa diakses oleh orang miskin. Menurut data
Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Formal dan Informal, sekitar 7,39 juta anak
putus sekolah hingga tahun 2015, Data ini bisa membengkak sebab setiap tahun
sekitar 300 ribu anak SD tidak melanjutkan pendidikannya. Sementara itu, data
2014 dari kemendikbud menyebutkan hanya 30% pelajar yang bisa melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Data di atas menegaskan satu hal
kepada kita. Pendidikan, sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa negara berkewajiban
mencerdaskan kehidupan bangsa telah diganti menjadi pendidikan mengikuti logika
pasar. Pendidikan yang merupakan hak rakyat diubah menjadi komoditi industri.
Sistem neoliberalisme mengatakan “Silakan berpendidikan, tapi harus bayar!”.
Dan negara? Tak ada negara, yang ada hanya pasar!
III.
Mahasiswa,
Stock Buruh Murah Berpengetahuan
Tidak hanya pendidikan mahal, kualitas
pendidikan masih memprihatinkan. Mahasiswa, dalam logika ekonomi pasar adalah stock
buruh. Neoliberalisme menghendaki sector-sektor produski harus berhubungan
dengan titik-titik pengetahuan. Akibatnya universitas menjadi salah satu titik
penting untuk melahirkan para buruh berpendidikan. Kampus menjadi penting oleh
pasar bagi penciptaan buruh-spesialis yang siap sedia untuk menjadi bagian dari
proses produksi kapitalis dengan pengetahuan yang dimiliki, sesuai dengan
harapan Bank Dunia, bahwa hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri
adalah capaian yang harus dituju oleh institusi pendidikan.
Itulah mengapa saat ini jika kita
perhatikan dengan kritis di dalam kampus, setiap fakultas memiliki jaringan
dengan perusahaan-perusahaan asing/swasta. Selain mencari pendanaan dari para
kapitalis dan mengarahkan menjadi buruh di prusahaan-perusahaan tersebut,
kurikulum pendidikan tinggi diubah sesuai permintaan pasar. Mahasiswa didoktrin
berprospek menjadi interprenier, memiliki masa depan yang ‘cemerlang’ dan tidak
peduli dengan situasi ekonomi politik yang terjadi. Universitas sukses membangun
menara gading dalam batok kepala mahasiswa.
Dari sini kita bisa melihat ketersinggungan
mahasiswa dan buruh sangatlah erat. Anak buruh memerlukan pendidikan, sedangkan
mahasiswa akan menjadi buruh. Tentu, gerakan buruh dan gerakan mahasiswa saling
membutuhkan. Saat ini, buruh tengah memperjuangkan mencabut PP 78/2015 tentang
Pengupahan, dimana konten dari aturan itu melanggengkan politik upah murah dan
anti serikat. Terang saja hal ini tidak hanya menjadi persoalan buruh, namun
juga menjadi persoalan mahasiswa. Gerakan buruh juga penting mendukung
perjuangan mahasiswa dalam mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas sebab
anak buruh juga membutuhkan pendidikan.
IV.
Pendidikan
Gratis Bukan Hayalan!
Indonesia adalah negara yang kaya
dengan potensi alamnya. Negeri dengan tambang tersebar di hampir seluruh
wilayah, hasil laut, hutan, dan tanah yang subur. Kekayaan alam yang dimiliki
negeri ini berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai syarat untuk menjadi negara
berpendidikan mahal. Sekali lagi, tidak punya syarat! Indonesia bisa mewujudkan
pendidikan gratis, berkualitas dan ilmiah. Negeri ini tidak perlu mengikuti
tuan modal (baca: kapitalis), tidak perlu ada UU PT yang melegalkan privatisasi
pendidikan dan mahalnya biaya pendidikan. Tidak hanya orang kaya yang bisa
mengakses pendidikan, tapi anak petani, buruh, kaum miskin kota, dan semura
rakyat miskin bisa menikmati pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi.
Potensi alam yang berlimpah ini jika dikuasai, dikelola dan dikontrol sendiri,
maka bisa dipastikan semua rakyat akan sejahtera dan tentu berpendidikan.
Sayangnya, kekayaan alam yang
melimpah ini sejak berkuasa orde baru hingga Jokowi dikuasai oleh asing dan
swasta hampir 80%. Pertambangan emas, bauksit, timah, nikel, batubara, panas
bumi, minyak dan gas dikuasai oleh non BUMN. Sudah tentu hanya memberi
keuntungan bagi pengusaha-pengusaha tersebut. Indonesia hanya diberi recehan
pajak dan limbah yang merusak alam. Pajak dan royalty yang harus dibayar pun
masih dikorupsi oleh pejabat-pejabat korup di negeri ini. Mantan ketua KPK
Abraham Samad pernah mempublikasikan korupsi sumber daya alam oleh perusahaan
dan pejabat. Menurutnya, jika pajak tambang diberikan tanpa ada suap dan
korupsi, maka setiap rakyat Indonesia bisa digaji setiap bulan sebesar 20 juta
per bulan. Tengoklah Freeport. Sejak mencengkram emas dan tembaga di Papua,
tidak ada perubahan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Hanya menambah
kesengsaraan dan pelanggaran HAM berat di Papua.
V.
Mari
Rapatkan Barisan Tuntut Pendidikan Gratis Dan Upah Layak Bagi Buruh
Belajar dari Kuba dan Venezuella,
dua negara yang miskin sumber daya alam ini (dibandingkan dengan Indonesia)
sanggup memberikan pendidikan gratis bukan sebatas wajib 9 tahun. Tetapi hingga
professor. Bahkan negara ini membuat program wajib dokter bagi setiap keluarga.
Sebab keduanya paham bahwa sebuah negara tak akan sanggup menyejahterakan
rakyatnya jika pendidikan sebagai alat untuk memajukan tenaga produktif manusia
dikomersialisasikan. Negara-negara Amerika Latin ini menasionalisasi asset
asing dan swasta. Hasil keuntungan dari nasionalisasi tersebut diperuntukkan
untuk kesejahteraan rakyat termasuk untuk pendidikan rakyat.
Indonesia bukan tidak mampu
memberikan pendidikan gratis dan berkualitas, tetapi tidak sanggup keluar dari
logika neoliberalisme. Penguasa negeri ini dan partai-partai politik busuk memilih
tunduk dan menjadi boneka kapitalisme. Padahal jika asset negara dikuasai dan
dikelola sendiri, maka tidak susah-susah kita meributkan APBN setiap tahun.
Subsidi pendidikan dan subsidi social lainnya tidak perlu dipotong bahkan
dinaikkan. Sehingga kualitas pendidikan dan hidup rakyat semakin terjamin.
Sebagai generasi yang akan
menjadi buruh ke depan, kita perlu bersolidaritas dan terlibat dalam perjuangan
buruh. Situasi perburuhan saat ini memprihatinkan. Buruh, sang produsen,
penghasil nilai lebih dan profit bagi perusahaan diupah tidak sesuai dengan
Kebutuhan Hidup Layak yang sejatinya. Item KHL buruh hanya 64 item, yang jika
kita kaji, sangat jauh dari kesejahteraan. Sementara pengusaha mendapatkan
keuntungan besar dari keringat buruh. PP Pengupahan menegaskan kenaikan upah
buruh hanya 5 tahun sekali itu pun mengikuti inflasi. Selain itu, PP itu pun
mengancam buruh tak boleh berserikat. Jika kedapatan, tidak akan dibayarkan
upahnya. Ini tentu menindas. Bukan hanya menindas pada buruh yang sekarang.
Tetapi kepada kita, mahasiswa, calon buruh.
Negara ini akan semakin bobrok,
pendidikan makin menjadi barang mahal jika kita, kaum muda, mahasiswa, tidak
bertindak. Sudah saatnya gerakan mahasiswa tidak diam dan hanya diperbudak oleh
tugas kampus. Buruh telah melakukan pemogokkan-pemogokkan, mensweeping
pabrik-pabrik, saling bersolidaritas sesama buruh, meluaskan semangat ke
daerah-daerah. Mahasiswa, sebagai kaum intelektual, buruh masa depan, mari
rapatkan barisan. Bangun posko menolak komersialisasi pendidikan, luaskan
solidaritas untuk pemogokkan buruh. Jika buruh telah mogok produksi dan
menjadikan pabrik sebagai rumah hantu, mari mahasiswa, jangan biarkan kampus menjadi
rumah bagi produski kapitalisme. Ayo siapkan mogok belajar! Kampus hanyalah
rumah hantu tanpa mahasiswa!
Untuk itu, dalam merespon International
Student Day pada tanggal 17 November, Komite Persiapan Federasi Mahasiswa
Kerakyatan mengajak seluruh mahasiswa Indonesia untuk terlibat dalam aksi
serentak nasional. Dalam aksi ini kami menuntut:
- Tolak Pake Kebijakan Ekonomi dan Paket Represif
- Nasionalisasi seluruh asset asing dan swasta dibawah control rakyat!
- Menuntut Indonesia keluar dari lembaga-lembaga kapitalis dunia!
- Cabut UU PT no 12 thaun 2012 dan revisi UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas!
- Cabut PP Pengupahan no 78/2015!
- Perbesar subsidi pendidikan dan subsidi social untuk rakyat!
- Wujudkan pendidikan gratis, berkualitas, ilmiah dan setara!
- Tuntut upah layak bagi buruh tanpa syarat!
- Lapangan kerja yang layak untuk rakyat!
Demikian dari kami. KP – FMK akan
terus membangun kekuatan di kampus untuk mencabut seluruh aturan yang
meliberalisasikan pendidikan. Kami juga akan terus meluaskan solidaritas untuk
perjuangan buruh. Mari bangun alat persatuan. Bergabung bersama Federasi
Mahasiswa Kerakyatan.
Hidup Mahasiswa!
Hidup Buruh!
Hidup Rakyat Indonesia!
KOMITE PERSIAPAN – FEDERASI MAHASISWA KERAKYATAN
Cakrawala Mahasiswa Indonesia, LMC, KAPAK, Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan, SEBUTAN, SEMAD, Norma Rae, Srikandi,
FMK, Front Generasi Merdeka, Lingkar Mahasiswa Kerakyatan, Cakrawala Mahasiswa Ternate