Sabtu, 14 November 2015

Internastional Student Day, KP-FMK Serukan Mogok Belajar!



INTERNASIONAL STUDENT DAY:
LAWAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DAN UPAH MURAH!

I.                    Perkembangan Neoliberalisme di Indonesia
Sejak masuk menjadi negara anggota World Trande Organization (sebelumnya bernama GATT tahun 1994 di Maroko berubah menjadi WTO), IMF, dan World Bank, system ekonomi politik Indonesia mulai menunjukan perubahan drastis menuju sebuah tatanan ekonomi neoliberalisme. Lembaga-lembaga dunia ini memuluskan jalan bagi kehendak system neoliberalisme. Neoliberalisme merupakan system mutakhir dari kapitalisme yang mengutamakan perdagangan bebas, ekspansi pasar, privatiasi/penjualan BUMN, deregulasi/penghilangan campur tangan negara, dan pengurangan peran negara dalam layanan social (public service).

Setelah Soeharto sukses membuka keran system tak adil ini, paska reformasi pemerintah negeri ini mulai konsisten menjalankan tahap demi tahap. Penjualan dan privatisasi asset-asset negara, pencabutan subsidi untuk rakyat hingga menderegulasikan aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan agar hilang campur tangan negara terhadap rakyat serta mengerdilkn ruang demokrasi yang susah payah direbut oleh rakyat dalam perjuangan reformasi silam.

Tahun 1995 indonesia mulai menerapkan General Agreement on Trade Service (GATS). GATS adalah sebuah produk neolib yang menegaskan bahwa semua sector jasa yang selama ini disubsidi atau ditangani oleh negara harus dilempar ke pasar menjadi barang komoditi. Sector jasa ini antara lain layanan pendidikan, kesehatan dan sosial, transportasi, komunikasi, distribusi, keuangan, parisiwata, dan lingkungan. Sektor-sektor ini menjadi bukan urusan negara lagi sesuai prinsip neoliberalisme.

II.                  Otonomi Untuk Pasar Neoliberalisme
Dalam dunia pendidikan, lembaga-lembaga kapitalis dunia berperan aktif dalam mengarahkan kemana muara salah satu tanggung jawab negara ini berlabuh. Pada tahun 1999 muncul PP nomor 61 tahun 1999 tentang penetapan Perguran Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Sebuah aturan yang memberi landasan adanya pengelolaan pendidikan tinggi oleh kampus tanpa campur tangan negara. Lalu menyusul 2003 UU Sistem Pendidikan Nasional memperkenalkan Badan Hukum Pendidikan dalam pasal 53 ayat 1. Berselang 5 tahun, muncul UU BHP pada tahun 2008. Walau pun berhasil dicabut, tapi pemerintah tidak habis akal, sebab Bank Dunia mengeluarkan dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang menegaskan bahwa masalah pendidikan di Indonesia sebagai masalah public yang (harus) kurang mengeluarkan uang untuk pendidikan tinggi. Sebab pendidikan tinggi dianggap sebagai barang tersier. Akhirnya, tanggal 13 Juli 2012, UU Perguruan Tinggi no 12 tahun 2012 disahkan yang hakikatnya sama dengan BHP, ialah sebagai landasan hukum PTN siap menjadi lahan bisnis. Di tahun 2013, dikeluarkan permendikbud tentang Uang Kuliah Tunggal. Kebijakan ini menjadi turunan dari UU PT dimana menekankan rakyatlah yang saling mensubsidi, bukan negara yang member subsidi untuk rakyat. Jelas, tanggung jawab negara sebagai penyelenggara pendidikan, hilang.

Otonomi (baca: pelepasan tanggung jawab negara) ini tak hanya ada di pendidikan tinggi. Di pendidikan dasar dan menengah, dikenal sebuah kebijakan bernama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kebijakan ini mirip dengan Badan Hukum Pendidikan, dimana sekolah didorong untuk memaksimalkan perannya dalam mencari sumber-sumber keuangannya sendiri. Baik itu dari orang tua murid, masyarakat, dan swasta. Nyatanya, bukan hanya perguruan tinggi yang dibuat menjadi produk mewah, tapi wajib sekolah 9 tahun perlahan menjadi barang mewah yang tak bisa diakses oleh orang miskin. Menurut data Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Formal dan Informal, sekitar 7,39 juta anak putus sekolah hingga tahun 2015, Data ini bisa membengkak sebab setiap tahun sekitar 300 ribu anak SD tidak melanjutkan pendidikannya. Sementara itu, data 2014 dari kemendikbud menyebutkan hanya 30% pelajar yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Data di atas menegaskan satu hal kepada kita. Pendidikan, sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa telah diganti menjadi pendidikan mengikuti logika pasar. Pendidikan yang merupakan hak rakyat diubah menjadi komoditi industri. Sistem neoliberalisme mengatakan “Silakan berpendidikan, tapi harus bayar!”. Dan negara? Tak ada negara, yang ada hanya pasar!

III.                Mahasiswa, Stock Buruh Murah Berpengetahuan
Tidak hanya pendidikan mahal, kualitas pendidikan masih memprihatinkan. Mahasiswa, dalam logika ekonomi pasar adalah stock buruh. Neoliberalisme menghendaki sector-sektor produski harus berhubungan dengan titik-titik pengetahuan. Akibatnya universitas menjadi salah satu titik penting untuk melahirkan para buruh berpendidikan. Kampus menjadi penting oleh pasar bagi penciptaan buruh-spesialis yang siap sedia untuk menjadi bagian dari proses produksi kapitalis dengan pengetahuan yang dimiliki, sesuai dengan harapan Bank Dunia, bahwa hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri adalah capaian yang harus dituju oleh institusi pendidikan.  

Itulah mengapa saat ini jika kita perhatikan dengan kritis di dalam kampus, setiap fakultas memiliki jaringan dengan perusahaan-perusahaan asing/swasta. Selain mencari pendanaan dari para kapitalis dan mengarahkan menjadi buruh di prusahaan-perusahaan tersebut, kurikulum pendidikan tinggi diubah sesuai permintaan pasar. Mahasiswa didoktrin berprospek menjadi interprenier, memiliki masa depan yang ‘cemerlang’ dan tidak peduli dengan situasi ekonomi politik yang terjadi. Universitas sukses membangun menara gading dalam batok kepala mahasiswa.

Dari sini kita bisa melihat ketersinggungan mahasiswa dan buruh sangatlah erat. Anak buruh memerlukan pendidikan, sedangkan mahasiswa akan menjadi buruh. Tentu, gerakan buruh dan gerakan mahasiswa saling membutuhkan. Saat ini, buruh tengah memperjuangkan mencabut PP 78/2015 tentang Pengupahan, dimana konten dari aturan itu melanggengkan politik upah murah dan anti serikat. Terang saja hal ini tidak hanya menjadi persoalan buruh, namun juga menjadi persoalan mahasiswa. Gerakan buruh juga penting mendukung perjuangan mahasiswa dalam mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas sebab anak buruh juga membutuhkan pendidikan. 

IV.                Pendidikan Gratis Bukan Hayalan!
Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi alamnya. Negeri dengan tambang tersebar di hampir seluruh wilayah, hasil laut, hutan, dan tanah yang subur. Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai syarat untuk menjadi negara berpendidikan mahal. Sekali lagi, tidak punya syarat! Indonesia bisa mewujudkan pendidikan gratis, berkualitas dan ilmiah. Negeri ini tidak perlu mengikuti tuan modal (baca: kapitalis), tidak perlu ada UU PT yang melegalkan privatisasi pendidikan dan mahalnya biaya pendidikan. Tidak hanya orang kaya yang bisa mengakses pendidikan, tapi anak petani, buruh, kaum miskin kota, dan semura rakyat miskin bisa menikmati pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Potensi alam yang berlimpah ini jika dikuasai, dikelola dan dikontrol sendiri, maka bisa dipastikan semua rakyat akan sejahtera dan tentu berpendidikan. 

Sayangnya, kekayaan alam yang melimpah ini sejak berkuasa orde baru hingga Jokowi dikuasai oleh asing dan swasta hampir 80%. Pertambangan emas, bauksit, timah, nikel, batubara, panas bumi, minyak dan gas dikuasai oleh non BUMN. Sudah tentu hanya memberi keuntungan bagi pengusaha-pengusaha tersebut. Indonesia hanya diberi recehan pajak dan limbah yang merusak alam. Pajak dan royalty yang harus dibayar pun masih dikorupsi oleh pejabat-pejabat korup di negeri ini. Mantan ketua KPK Abraham Samad pernah mempublikasikan korupsi sumber daya alam oleh perusahaan dan pejabat. Menurutnya, jika pajak tambang diberikan tanpa ada suap dan korupsi, maka setiap rakyat Indonesia bisa digaji setiap bulan sebesar 20 juta per bulan. Tengoklah Freeport. Sejak mencengkram emas dan tembaga di Papua, tidak ada perubahan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Hanya menambah kesengsaraan dan pelanggaran HAM berat di Papua.

V.                  Mari Rapatkan Barisan Tuntut Pendidikan Gratis Dan Upah Layak Bagi Buruh
Belajar dari Kuba dan Venezuella, dua negara yang miskin sumber daya alam ini (dibandingkan dengan Indonesia) sanggup memberikan pendidikan gratis bukan sebatas wajib 9 tahun. Tetapi hingga professor. Bahkan negara ini membuat program wajib dokter bagi setiap keluarga. Sebab keduanya paham bahwa sebuah negara tak akan sanggup menyejahterakan rakyatnya jika pendidikan sebagai alat untuk memajukan tenaga produktif manusia dikomersialisasikan. Negara-negara Amerika Latin ini menasionalisasi asset asing dan swasta. Hasil keuntungan dari nasionalisasi tersebut diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat termasuk untuk pendidikan rakyat. 

Indonesia bukan tidak mampu memberikan pendidikan gratis dan berkualitas, tetapi tidak sanggup keluar dari logika neoliberalisme. Penguasa negeri ini dan partai-partai politik busuk memilih tunduk dan menjadi boneka kapitalisme. Padahal jika asset negara dikuasai dan dikelola sendiri, maka tidak susah-susah kita meributkan APBN setiap tahun. Subsidi pendidikan dan subsidi social lainnya tidak perlu dipotong bahkan dinaikkan. Sehingga kualitas pendidikan dan hidup rakyat semakin terjamin. 

Sebagai generasi yang akan menjadi buruh ke depan, kita perlu bersolidaritas dan terlibat dalam perjuangan buruh. Situasi perburuhan saat ini memprihatinkan. Buruh, sang produsen, penghasil nilai lebih dan profit bagi perusahaan diupah tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak yang sejatinya. Item KHL buruh hanya 64 item, yang jika kita kaji, sangat jauh dari kesejahteraan. Sementara pengusaha mendapatkan keuntungan besar dari keringat buruh. PP Pengupahan menegaskan kenaikan upah buruh hanya 5 tahun sekali itu pun mengikuti inflasi. Selain itu, PP itu pun mengancam buruh tak boleh berserikat. Jika kedapatan, tidak akan dibayarkan upahnya. Ini tentu menindas. Bukan hanya menindas pada buruh yang sekarang. Tetapi kepada kita, mahasiswa, calon buruh. 

Negara ini akan semakin bobrok, pendidikan makin menjadi barang mahal jika kita, kaum muda, mahasiswa, tidak bertindak. Sudah saatnya gerakan mahasiswa tidak diam dan hanya diperbudak oleh tugas kampus. Buruh telah melakukan pemogokkan-pemogokkan, mensweeping pabrik-pabrik, saling bersolidaritas sesama buruh, meluaskan semangat ke daerah-daerah. Mahasiswa, sebagai kaum intelektual, buruh masa depan, mari rapatkan barisan. Bangun posko menolak komersialisasi pendidikan, luaskan solidaritas untuk pemogokkan buruh. Jika buruh telah mogok produksi dan menjadikan pabrik sebagai rumah hantu, mari mahasiswa, jangan biarkan kampus menjadi rumah bagi produski kapitalisme. Ayo siapkan mogok belajar! Kampus hanyalah rumah hantu tanpa mahasiswa!

Untuk itu, dalam merespon International Student Day pada tanggal 17 November, Komite Persiapan Federasi Mahasiswa Kerakyatan mengajak seluruh mahasiswa Indonesia untuk terlibat dalam aksi serentak nasional. Dalam aksi ini kami menuntut:

  1. Tolak Pake Kebijakan Ekonomi dan Paket Represif
  2.  Nasionalisasi seluruh asset asing dan swasta dibawah control rakyat!
  3. Menuntut Indonesia keluar dari lembaga-lembaga kapitalis dunia!
  4. Cabut UU PT no 12 thaun 2012 dan revisi UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas!
  5. Cabut PP Pengupahan no 78/2015!
  6. Perbesar subsidi pendidikan dan subsidi social untuk rakyat!
  7. Wujudkan pendidikan gratis, berkualitas, ilmiah dan setara!
  8. Tuntut upah layak bagi buruh tanpa syarat!
  9. Lapangan kerja yang layak untuk rakyat!

Demikian dari kami. KP – FMK akan terus membangun kekuatan di kampus untuk mencabut seluruh aturan yang meliberalisasikan pendidikan. Kami juga akan terus meluaskan solidaritas untuk perjuangan buruh. Mari bangun alat persatuan. Bergabung bersama Federasi Mahasiswa Kerakyatan.
Hidup Mahasiswa!

Hidup Buruh!
Hidup Rakyat Indonesia!
KOMITE PERSIAPAN – FEDERASI MAHASISWA KERAKYATAN
Cakrawala Mahasiswa Indonesia, LMC, KAPAK, Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan, SEBUTAN, SEMAD, Norma Rae, Srikandi, FMK, Front Generasi Merdeka, Lingkar Mahasiswa Kerakyatan, Cakrawala Mahasiswa Ternate