Rezim militer Suharto (orde baru)
memiliki konsep “massa mengambang”, hal ini berarti dijauhkannya rakyat dari aktivitas politik.
Keterlibatan aktif rakyat dalam berpolitik, berpartai, berorganisasi,
berdemonstrasi, rapat-rapat akbar, dan
mogok dihancurkan oleh rezim militer Suharto, sebab hal ini bertentangan dengan
konsep massa mengambang. Disisi lain konsep politik massa mengambang memuluskan
menguatnya kekuatan imprealis dan masuknya modal asing sebab segala penentuan
kebijakan sepenuhnya milik rezim militer Suharto.
Adanya akumulasi kemarahan atas
penindasan dan tekanan yang dilakukan oleh rezim militer Suharto di tambah lagi krisis ekonomi yang menyebabkan
rakyat semakin sengsara. Ini menyebabkan perjuangan rakyat mencapai puncak kemarahannya untuk menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Dengan pernyataan mundurnya Soeharto jadi
presiden menandakan babak baru dalam dunia ekonomi politik Indonesia. Bagaimana itu bisa terjadi ?
Mengutip Progress, media
terbitan kaum pergerakan di penghujung dekade 1980an. Lima tahun mendahului
Peristiwa 21 Mei, Progress menulis, "Ada 6 pintu demokrasi yang
telah dibuka. Pertama, isu-isu yang relevan dengan rakyat mulai
terangkat dalam masyarakat. Kebudayaan (lama) bisu sedang dihancurkan oleh
rakyat sendiri. Sekarang, banyak orang mulai bicara tentang persoalan-persoalan
rakyat. Kedua, militansi di kalangan rakyat semakin tinggi. Sekarang, banyak
sekali aksi massa, baik yang terorganisir maupun yang tidak. Ketiga,
kerja-kerja propaganda dan agitasi mahasiswa telah berhasil; itu tercermin dari
meluasnya pengakuan oleh rakyat bahwa pemerintah sudah bangkrut dan
menginginkan alternatifnya. Keempat, perjuangan telah membuahkan
hasilnya dalam bentuk didirikannya lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi
alternatif yang tak bisa dikendalikan lagi oleh rejim. Kelima, rakyat,
buruh dan petani, mulai sadar akan hak-haknya. Keenam, pada tingkat
individual, kini lebih banyak lagi orang, mayoritas dalam gerakan, yang
memiliki pandangan alternatif yang lebih radikal". [Progres, Vol.
3, No. 1, 1993, hal. 21].
Terbukanya
ruang demokrasi adalah hasil dari perjuangan rakyat itu sendiri. Ini sekali
lagi bukanlah pemberian dari elit, tapi adalah jerih payah rakyat. Capaian
perjuangan rakyat dengan terbuka ruang demokrasi tidak serta merta akan
bertahan. Dalam perjalanannya demokrasi menghadapi ancaman dari
kelompok-kelompok fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner, aparatus negara
(polisi, militer, dll) serta elit politik yang sama sekali tidak memiliki
komitmen terhadap demokrasi. Misalnya penyerangan diskusi Irsyad Manji, diskusi
sejarah 65 serta pemutaran film tentang 65 (Senyap) dilarang bahkan tidak
hanya oleh negara tetapi juga ormas milisi reaksioner, kampus,dll.
Paska 98, elit
politik langsung menunjukan bahwa mereka tidak memiliki komitmen terhadap
demokrasi, terbukti dalam pertemuan Cianjur dimana mereka
kemudian memutuskan bahwa pencabutan dwi fungsi ABRI dilakukan secara bertahap,
serta memberi kesempatan kepada Habibi yang merupakan bagian dari orde baru
untuk menjadi presiden dan tidak mengadili Suharto. Hal ini sangat berbeda
dengan apa yang dituntut oleh rakyat dan mahasiswa. Setelah Habibi turun,
Gusdur pun naik, meskipun
terdapat beberapa perbaikan kondisi, namun tetap mewakili borjuis yang peragu.
Dia tidak pernah konsisten dalam mempertahankan demokrasi dan melawan aliansi
sisa-sisa orde baru, militer dan poros tengah yang kemudian memunculkan Mega
sebagai penggantinya. Kemudian naiklah Megawati yang
semakin memperparah ruang demokrasi, sebab dia naik dari hasil aliansi antara
kekuatan sisa orde baru, militer dan poros tengah. Beberapa mahasiswa di
daerah-daerah termasuk di Jogja yang aksi dan memprotesnya dengan cara membakar
fotonya dipenjara olehnya.Rezim selanjutnya, SBY malah membuat produk-produk hukum anti demokrasi yang banyak disahkan. UU ormas, UU
Pengamanan Konflik Sosial, UU Pengadaan Tanah,UU Intelijen dst. Kasus
munir yang oleh SBY telah berkomitmen untuk mengusut tuntas ternyata hingga
kini tidak terselesaikan. Setelah itu
digantikan oleh rezim Jokowi. Walau Jokowi dalam janji sebelum
menjadi presiden berkomitmen menyelesaiakan kasus HAM,
namun ternyata pelanggaran HAM terjadi terus menerus di Papua dan Makassar sebelum 100 hari massa
kepemimpinannya. Bahkan tim sukses pemenangan Jokowi terdiri dari
jenderal-jenderal pelaku pelanggaran HAM.
Demokrasi
cenderung mundur karena gerakan itu sendiri yang tidak memperjuangkannya. Kita
tidak bisa mengharapkan rezim elit politik borjuis akan mempertahankan apalagi
menuntaskan
perjuangan demokrasi di Indonesia. Hanya rakyatlah yang bisa memberikan perubahan dan
pembukaan ruang demokrasi. Perjuangan demokrasi pun terus mendapatkan
hambatan-hambatan tidak hanya dari militer dan negara. Paska reformasi milisi
sipil reaksioner hidup dan menjamur di Indonesia. Fakta dilapangan meraka
melakukan penyerangan pada aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh
gerakan maupun aktivitas kelompok minoritas lainnya. Seperti yang terjadi pada
aksi transgender, kegiatan keagamaan minoritas, pemutaran film Senyap, aksi
politik rakyat Papua dan diskusi-diskusi di kampus.
Kenapa Harus Menuntaskan Perjuangan Demokrasi?
Untuk dapat
terus memperjuangkan hak dan memajukan perjuanganya rakyat membutuhkan adanya
ruang demokrasi. Reformasi 98 telah membuahkan hasil dengan terbukanya ruang
demokrasi yang mana ribuan organisasi bermunculan paska itu, kegiatan diskusi
dapat dilakukan kembali dan rakyat kembali dapat turun kejalan untuk
menyuarakan hakny. Namun perjuangan demokrasi tidak bisa berhenti, sebab ruang-ruang
demokrasi yang ada selalu mendapatkan ancaman untuk dipersempit bahkan
dihancurkan.
Lantas apa
perjuangan demokrasi yang ingin kita capai? Ialah demokrasi yang memberikan
ruang sebesar-besarnya bagi keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan,
pengontrolan dan pengelolaan negara. Selama ini, rakyat hanya menjadi penonton
atau objek dari partai politik yang berkuasa. Perjuangan rakyat menuntut
hak-haknya membutuhkan demokrasi, untuk itu dibutuhkan partisipasi dan
keterlibatan rakyat sepenuhnya atas negara adalah hal yang mendasar. Adanya
kebebasan berkumpul, berpendapat, berorganisasi, berideologi, memeluk
keyakinan, kebebasan memilih orientasi seksual, penuntasan kasus pelanggaran
HAM, penguakkan sejarah, menjadi syarat
menuju perjuangan penuntasan demokrasi. Politik orde baru yang masih kuat dan
bertahan dalam watak di negeri ini harus dihancurkan. Penghancurannya tentu
saja oleh gerakan rakyat itu sendiri. Rakyat harus bergandeng tangan, bersama
melawan segala penghambat demokrasi dan menegakkan demokrasi sejati di negeri
ini. Agar perjuangannya semakin mudah dan kuat.
Untuk itu,
dalam memperingati 21 Mei hari Kejatuhan Soeharto ini, kami dari berbagai elemen
organsasi dan individu yang telah muak dengan politik orde baru yang anti
demokrasi, akan menggelar Panggung Rakyat dengan tema “Refleksi Reformasi: Melawan
Politik Orde Baru”. Dalam panggung rakyat ini, setiap elemen dan
individu bebas mengkampanyekan isu yang diperjuangkannya dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Kami mengajak seluruh rakyat dan
gerakan
lainnya untuk terlibat dalam agenda ini.
Adapun tuntutan dalam memperingati 21 Mei
2015 ini adalah sbb :
- Kebebasan berpendapat, berkumpul, berorganisasi, berideologi dan orentasi seksual adalah hak dasar rakyat yang harus dihormati dan tidak direpresi oleh milisi sipil maupun oleh negara.
- Lawan segala sisa politik Orde Baru yang masih bercokol di negara ini
- Tegakkan demokrasi yang sejati, demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga tercipta demokrasi partisipatoris.
- Tuntaskan kasus-kasus pelanggaran demokrasi dan Hak Azazi Manusia (HAM)
- Negara harus melindungi dan menegakkan demokrasi demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.
- Tolak dan lawan segala bentuk represifitas yang dilakukan oleh aparat militer terhadap rakyat kecil yang memperjuangkan hak-haknya, seperti yang terjadi dalam kasus petani Rembang, petani Kulonprogo, aksi dan mogok buruh,mahasiswa, dan kegiatan rakyat lainnya
- Selamatkan demokrasi dari bahaya laten Orde Baru.
Kami yang terdiri dari gerakan mahasiswa, perempuan, buruh dan
petani mengajak seluruh individu
maupun organisasi untuk terlibat dalam agenda Panggung Rakyat “Refleksi
17 Tahun Reformasi: Melawan Politik Orde Baru”, Kamis 21 Mei 2015 pukul 16.00
di Nol KM Yogyakarta. Mari menyatukan kekuatan bersama, buruh, petani, kaum
miskin kota, Perempuan, kaum miskin desa, seniman, dan seluruh gerakan rakyat
yang tertindas di seluruh Indonesia. Bersama berjuang untuk menuntaskan
perjuangan demokrasi di Indonesia.