Senin, 18 Mei 2015

Refleksi 17 Tahun Reformasi: Melawan Politik Orde Baru!


Rezim militer Suharto (orde baru) memiliki konsep “massa mengambang”, hal ini berarti  dijauhkannya rakyat dari aktivitas politik. Keterlibatan aktif rakyat dalam berpolitik, berpartai, berorganisasi, berdemonstrasi, rapat-rapat akbar,  dan mogok dihancurkan oleh rezim militer Suharto, sebab hal ini bertentangan dengan konsep massa mengambang. Disisi lain konsep politik massa mengambang memuluskan menguatnya kekuatan imprealis dan masuknya modal asing sebab segala penentuan kebijakan sepenuhnya milik rezim militer Suharto.

Adanya akumulasi kemarahan atas penindasan dan tekanan yang dilakukan oleh rezim militer Suharto di tambah lagi krisis ekonomi yang menyebabkan rakyat semakin sengsara. Ini menyebabkan perjuangan rakyat mencapai puncak kemarahannya untuk menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Dengan pernyataan mundurnya Soeharto jadi presiden menandakan babak baru dalam dunia ekonomi politik Indonesia. Bagaimana itu bisa terjadi ?


Mengutip Progress, media terbitan kaum pergerakan di penghujung dekade 1980an. Lima tahun mendahului Peristiwa 21 Mei, Progress menulis, "Ada 6 pintu demokrasi yang telah dibuka. Pertama, isu-isu yang relevan dengan rakyat mulai terangkat dalam masyarakat. Kebudayaan (lama) bisu sedang dihancurkan oleh rakyat sendiri. Sekarang, banyak orang mulai bicara tentang persoalan-persoalan rakyat. Kedua, militansi di kalangan rakyat semakin tinggi. Sekarang, banyak sekali aksi massa, baik yang terorganisir maupun yang tidak. Ketiga, kerja-kerja propaganda dan agitasi mahasiswa telah berhasil; itu tercermin dari meluasnya pengakuan oleh rakyat bahwa pemerintah sudah bangkrut dan menginginkan alternatifnya. Keempat, perjuangan telah membuahkan hasilnya dalam bentuk didirikannya lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi alternatif yang tak bisa dikendalikan lagi oleh rejim. Kelima, rakyat, buruh dan petani, mulai sadar akan hak-haknya. Keenam, pada tingkat individual, kini lebih banyak lagi orang, mayoritas dalam gerakan, yang memiliki pandangan alternatif yang lebih radikal". [Progres, Vol. 3, No. 1, 1993, hal. 21].

Terbukanya ruang demokrasi adalah hasil dari perjuangan rakyat itu sendiri. Ini sekali lagi bukanlah pemberian dari elit, tapi adalah jerih payah rakyat. Capaian perjuangan rakyat dengan terbuka ruang demokrasi tidak serta merta akan bertahan. Dalam perjalanannya demokrasi menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner, aparatus negara (polisi, militer, dll) serta elit politik yang sama sekali tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi. Misalnya penyerangan diskusi Irsyad Manji, diskusi sejarah 65 serta pemutaran film tentang 65 (Senyap) dilarang bahkan tidak hanya oleh negara tetapi juga ormas milisi reaksioner, kampus,dll.

Paska 98, elit politik langsung menunjukan bahwa mereka tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi, terbukti dalam pertemuan Cianjur dimana mereka kemudian memutuskan bahwa pencabutan dwi fungsi ABRI dilakukan secara bertahap, serta memberi kesempatan kepada Habibi yang merupakan bagian dari orde baru untuk menjadi presiden dan tidak mengadili Suharto. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dituntut oleh rakyat dan mahasiswa. Setelah Habibi turun, Gusdur pun naik, meskipun terdapat beberapa perbaikan kondisi, namun tetap mewakili borjuis yang peragu. Dia tidak pernah konsisten dalam mempertahankan demokrasi dan melawan aliansi sisa-sisa orde baru, militer dan poros tengah yang kemudian memunculkan Mega sebagai penggantinya. Kemudian naiklah Megawati yang semakin memperparah ruang demokrasi, sebab dia naik dari hasil aliansi antara kekuatan sisa orde baru, militer dan poros tengah. Beberapa mahasiswa di daerah-daerah termasuk di Jogja yang aksi dan memprotesnya dengan cara membakar fotonya dipenjara olehnya.Rezim selanjutnya, SBY malah membuat produk-produk hukum anti demokrasi yang banyak disahkan. UU ormas, UU Pengamanan Konflik Sosial, UU Pengadaan Tanah,UU Intelijen dst. Kasus munir yang oleh SBY telah berkomitmen untuk mengusut tuntas ternyata hingga kini tidak terselesaikan. Setelah itu digantikan oleh rezim Jokowi. Walau Jokowi dalam janji sebelum menjadi presiden berkomitmen menyelesaiakan kasus HAM, namun ternyata pelanggaran HAM terjadi terus menerus di Papua dan Makassar sebelum 100 hari massa kepemimpinannya. Bahkan tim sukses pemenangan Jokowi terdiri dari jenderal-jenderal pelaku pelanggaran HAM.

Demokrasi cenderung mundur karena gerakan itu sendiri yang tidak memperjuangkannya. Kita tidak bisa mengharapkan rezim elit politik borjuis akan mempertahankan apalagi menuntaskan perjuangan demokrasi di Indonesia. Hanya rakyatlah yang bisa memberikan perubahan dan pembukaan ruang demokrasi. Perjuangan demokrasi pun terus mendapatkan hambatan-hambatan tidak hanya dari militer dan negara. Paska reformasi milisi sipil reaksioner hidup dan menjamur di Indonesia. Fakta dilapangan meraka melakukan penyerangan pada aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh gerakan maupun aktivitas kelompok minoritas lainnya. Seperti yang terjadi pada aksi transgender, kegiatan keagamaan minoritas, pemutaran film Senyap, aksi politik rakyat Papua dan diskusi-diskusi di kampus.

Kenapa Harus Menuntaskan Perjuangan Demokrasi?

Untuk dapat terus memperjuangkan hak dan memajukan perjuanganya rakyat membutuhkan adanya ruang demokrasi. Reformasi 98 telah membuahkan hasil dengan terbukanya ruang demokrasi yang mana ribuan organisasi bermunculan paska itu, kegiatan diskusi dapat dilakukan kembali dan rakyat kembali dapat turun kejalan untuk menyuarakan hakny. Namun perjuangan demokrasi tidak bisa berhenti, sebab ruang-ruang demokrasi yang ada selalu mendapatkan ancaman untuk dipersempit bahkan dihancurkan.

Lantas apa perjuangan demokrasi yang ingin kita capai? Ialah demokrasi yang memberikan ruang sebesar-besarnya bagi keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, pengontrolan dan pengelolaan negara. Selama ini, rakyat hanya menjadi penonton atau objek dari partai politik yang berkuasa. Perjuangan rakyat menuntut hak-haknya membutuhkan demokrasi, untuk itu dibutuhkan partisipasi dan keterlibatan rakyat sepenuhnya atas negara adalah hal yang mendasar. Adanya kebebasan berkumpul, berpendapat, berorganisasi, berideologi, memeluk keyakinan, kebebasan memilih orientasi seksual, penuntasan kasus pelanggaran HAM, penguakkan sejarah,  menjadi syarat menuju perjuangan penuntasan demokrasi. Politik orde baru yang masih kuat dan bertahan dalam watak di negeri ini harus dihancurkan. Penghancurannya tentu saja oleh gerakan rakyat itu sendiri. Rakyat harus bergandeng tangan, bersama melawan segala penghambat demokrasi dan menegakkan demokrasi sejati di negeri ini. Agar perjuangannya semakin mudah dan kuat.

Untuk itu, dalam memperingati 21 Mei hari Kejatuhan Soeharto ini, kami dari berbagai elemen organsasi dan individu yang telah muak dengan politik orde baru yang anti demokrasi, akan menggelar Panggung Rakyat dengan tema “Refleksi Reformasi: Melawan Politik Orde Baru”. Dalam panggung rakyat ini, setiap elemen dan individu bebas mengkampanyekan isu yang diperjuangkannya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Kami mengajak seluruh rakyat dan gerakan lainnya untuk terlibat dalam agenda ini. 

Adapun tuntutan dalam memperingati 21 Mei 2015 ini adalah sbb :
  1.  Kebebasan berpendapat, berkumpul, berorganisasi, berideologi dan orentasi seksual adalah hak dasar rakyat yang harus dihormati dan tidak direpresi oleh milisi sipil maupun oleh negara.
  2.  Lawan segala sisa politik Orde Baru yang masih bercokol di negara ini
  3. Tegakkan demokrasi yang sejati, demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga tercipta demokrasi partisipatoris.
  4. Tuntaskan kasus-kasus pelanggaran demokrasi dan Hak Azazi Manusia (HAM)
  5. Negara harus melindungi dan menegakkan demokrasi demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.
  6. Tolak dan lawan segala bentuk represifitas yang dilakukan oleh aparat militer terhadap rakyat kecil yang memperjuangkan hak-haknya, seperti yang terjadi dalam kasus petani Rembang, petani Kulonprogo, aksi dan mogok buruh,mahasiswa, dan kegiatan rakyat lainnya
  7. Selamatkan demokrasi dari bahaya laten Orde Baru.
Kami yang terdiri dari gerakan mahasiswa, perempuan, buruh dan petani mengajak seluruh individu maupun organisasi untuk terlibat dalam agenda Panggung Rakyat “Refleksi 17 Tahun Reformasi: Melawan Politik Orde Baru”, Kamis 21 Mei 2015 pukul 16.00 di Nol KM Yogyakarta. Mari menyatukan kekuatan bersama, buruh, petani, kaum miskin kota, Perempuan, kaum miskin desa, seniman, dan seluruh gerakan rakyat yang tertindas di seluruh Indonesia. Bersama berjuang untuk menuntaskan perjuangan demokrasi di Indonesia.