Kamis, 13 November 2014

PENDIDIKAN DIERA NEOLIBERAL



Fakta pendidikan di Indonesia :

1. Jutaan anak usia sekolah tidak bisa mengakses pendidikan dikarenakan mahalnya biaya     pendidikan. Sekitar 1,3 juta anak usia putus sekolah dan jutaan pemuda tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
2. Sistem Ujian Nasional (UN) menjadi tiang gantung bagi siswa di setiap tahun.
3. UU Sisdiknas, UU PT, UKT, dll memahalkan biaya bagi rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik lagi.
4.  Pengangguran meningkat, Indonesia menjadi pasar tenaga kerja murah.
Pendidikan hanya menjadi
pra syarat untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga tujuan pendidikan
untuk membebaskan manusia
(memanusiakan manusia) pun hilang.

So,  Mari  BERTANYA....
Kenapa Biaya Pendidikan Mahal???

Konsekeunsi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO sejak tahun 1994, telah di ikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Servises).  GATS adalah perjanjian yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan (komoditi). Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberaliasi pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan orientasi akumulasi (baca: penumpukan) keuntungan sebanyak-banyaknya. Praktek liberalisasi  menghilangkan tanggung jawab negara dengan menyerahkan pendidikan ke pasar, karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan.
Lalu,

 Apa Bentuk Liberalisasi Pendidikan di Universitas?

Disahkannya UU Pendidikan Tinggi. UU ini adalah regulasi pengganti dari UU BHP yang telah dibatalkan oleh MK di tahun 2010. UU PT menekankan adanya kemandirian pihak universitas dalam mengelolanya, termasuk dalam hal pendanaan. Subsidi untuk biaya pendidikan tinggi mulai dihilangkan. Memaksa pihak universitas untuk mencari sumber-sumber pendanaan  dari swasta dan atau dengan menaikan biaya pendidikan. Regulasi ini adalah pintu bagi masuknya pasar industri dalam ranah pendidikan sebagaimana yang diidam-idamkan oleh GATS. Tidak berselang lama setelah disahkannya UU PT, dikeluarkanlah PERMENDIKBUD tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal no 55 tahun 2013. Alih-alih menganggap kebijakan ini menurunkan biaya kuliah, otonomi kampus yang sudah menjadikan pendidikan sebagai pasar akumulasi modal, tidak bisa berkompromi atas kebijakan tersebut. Yang paling terpenting dan patut disoroti, kenapa negara ‘angkat tangan’ dalam urusan pendidikan?
Demokratisasi kampus.  Pernahkah kita bertanya, kenapa mahasiswa tidak pernah terlibat  dan atau tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan di kampus? Misalnya pemilihan rektor, dekan, dll. Kenapa harus ada 75% presensi hingga kuliah hanya semata-mata untuk kejar target untuk secepatnya lulus agar memperoleh syarat mendapatkan pekerjaan, lalu menaikkan akreditasi kampus? Jika tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia, lantas kenapa kebijakan kampus membuat mahasiswa tidak lebih seperti robot yang siap di setel? Sepertinya, jika bicara soal demokrasi kampus, tak akan ada habisnya. Karena banyak sekali persoalan demokrasi yang tak kunjung hadir di rumahnya intelektual yang katanya pro demokrasi.


Pertanyaan yang bisa menjawab pertanyaan diatas ialah apakah Indonesia memiliki syarat menjadi negara yang miskin? Apakah Indonesia miskin Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber daya Manusia (SDM)? Jika keduanya dijawab “TIDAK”, maka pertanyaan besar diatas jawabannya “YA, TENTU SAJA!”. Negeri ini adalah negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Limpahan tambang, minyak, hutan, hasil laut, gugusan pegunungan, dll tak ternilai harganya. Sayangnya, surga alam ini malah sebagaian besar di kuasai oleh asing dan swasta. Artinya sangat sedikit yang dikelola sendiri oleh pemerintah melalui BUMN. Tentunya hasil pengelolaan kekayaan alam oleh mereka bermakna keuntungannya pun untuk mereka. Kita contohkan saja PT Freeport. Perusahaan tambang emas ini setiap tahun menuai keuntungan sebesar .............. Lantas berapa yang diberikan kepada negara? ilustrasi dari Abraham Samad, bahwa dalam hitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7,200 triliun hilang setiap tahun. Artinya, jika dibagikan ke rakyat, dana ini bisa mengsubsidi per orang sebesar 2 juta per bulan. Tenang temans, ini baru hasil pajak. Belum hitungan keuntungan jika seluruh tambang dan kekayaan alamnya dikuasai oleh negara. Tentu tidak hanya pendidikan akan digratiskan, kesehatan dan seluruh hal menyangkut kesejahteraan rakyat akan terpenuhi. Privatisasi sumber daya alam ini diakibatkan oleh regulasi/kebijakan-kebikan negara yang berpihak pada kepentingan modal (Kapitalisme). Dimulai dari UU Penanaman modal no 1 tahun 1967, UU no 25 tahun 2007, UU  Minerba, UU pengadaan lahan, dll yang semakin membuat negara ini hilang kemandiriannya. Seluruh sektor ekonomi mulai dari pertanian, pangan, energi, minyak dan gas, perbankan, hingga ritel dapat dikuasai swasta hingga 99% melalui Perpres no 36 tahun 2010.


Mari Selamatkan Pendidikan. Bangun Gerakan Mahasiswa Progresif, berjuang demi terwujudnya Pendidikan Gratis, Ilmiah dan demokratis.